A.
ETIKA DAN TEORI ETIKA
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dalam bentuk
tunggal etika, yaitu ethos sedangkan
bentuk jamaknya, yaitu ta etha. Ethos mempunyai
banyak arti, yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan
arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Kata ‘etika’ dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 –
mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika mencakup analisis dan
penerapan konsep seperti benar,salah, baik, buruk,
dan tanggung jawab.
Dari
beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu bentuk sikap dan perilaku,
cerminan cara berfikir dan kebiasaan, yang mengarah kepada baik atau buruk,
benar atau salah yang dianut suatu golongan masyarakat.
2. Teori etika
2.1 Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua
konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu egoisme psikologis dan egoisme
etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua
tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri. Egoisme etis adalah
tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri. Yang membedakan tindakan
berkutat diri (egoisme psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri
(egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang lain. Tindakan berkutat
diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain,
sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang
lain.
2.2 Utilitarianisme
Utilitarianisme
berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata
Inggris utility yang berarti bermanfaat (Bertens, 2000).
Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatan baik jika membawa manfaat bagi
sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang sangat
terkenal “the greatest happiness of the greatest numbers”. Perbedaan
paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh
manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu,
sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut kepentingan orang banyak
(kepentingan bersama, kepentingan masyarakat).
2.3 Deontologi
Istilah
deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti
kewajiban. Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak
ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi atau akibat dari tindakan
tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk
menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.
2.4 Teori Hak
Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan
atau tindakan tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak
merupakan suatu aspek dari deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat
dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang,
maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan kewajiban bagi orang lain. Teori
hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan semua
manusia mempunyai martabat yang sama. Hak asasi manusia didasarkan atas
beberapa sumber otoritas, yaitu:
a. Hak hukum (legal right), adalah hak
yang didasarkan atas sistem/yurisdiksi hukum suatu negara, di mana sumber hukum
tertinggi suatu Negara adalah Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan.
b. Hak moral atau kemanusiaan (moral,
human right), dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam
beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok bukan dengan masyarakat dalam arti
luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan
individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain
c. Hak kontraktual (contractual
right), mengikat individu-individu yang
membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing
kontrak.
2.5 Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Keutamaan
bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh
seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Kebijaksanaan, misalnya, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang
mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi. Keadilan adalah keutamaan lain
yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa yang menjadi haknya.
Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang tidak menonjolkan diri,
sekalipun situasi mengizinkan. Suka bekerja keras adalah keutamaan yang membuat
seseorang mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas-malasan. Ada banyak
keutamaan semacam ini. Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki
keutamaan. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan (virtuous life).
2.6 Teori Etika Teonom
Sebagaimana
dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang ingin
dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk
memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat
risten, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki
oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Tuhan. Perilaku manusia secara
moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Tuhan, dan perilaku manusia
dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Tuhan sebagaimana
dituangkan dalam kitab suci. Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep
kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang
bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant teletak pada pengabaian adanya
tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus dicapai umat manusia, walaupun ia
memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moralitas dikatakan bersifat mutlak
hanya bila moralitas itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia. Segala
sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan
rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan
rasional yang dimiliki manusia.
B.
FUNGSI ETIKA
Berbeda
dengan ajaran moral, etika tidak dimaksudkan untuk secara langsung dapat
membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis
tentang moralitas. Terdapat empat alasan mengapa etika semakin diperlukan pada
zaman ini.
1. Masyarakat sekarang ini semakin
pluralistik atau majemuk, baik dari suku, daerah, agama yang berbeda-beda;
demikian pula dalam bidang moralitas. Kita berhadapan dengan sekian banyak
pandangan moral yang sering saling bertentangan. Mana yang mau diikuti,
apakah yang diterima dari orang tua kita dahulu, moralitas tradisional desa,
atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa.
2. Masa transformasi (perubahan)
masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan yang diakibatkan gelombang modernisasi
merupakan kekuatan yang menghantam semua segi kehidupan manusia. Kehidupan
di kota sudah jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam
transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya
tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi inilah etika membantu kita agar
jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa
yang boleh saja berubah, dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil
sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.
3. Perubahan sosial budaya yang terjadi
itu dapat dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing di air keruh.
Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat
membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi tersebut secara kritis dan
objektif, dan untuk membentuk penilaian kita sendiri, agar tidak terlalu mudah
terpancing. Etika juga membantu kita jangan naif atau ekstrem, yaitu jangan
cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak
nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.
4.
Etika
juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar
kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan di lain pihak
sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup
diri dari semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.
C.
JENIS ETIKA
Etika Filosofis
Etika filosofis secara
harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah
bagian dari filsafat;
etika lahir dari filsafat.
Etika
termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari
filsafat. Karena itu, bila ingin
mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur
filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika.
1. Non-empiris.
Filsafat
digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris
adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat
tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang konkret dengan seolah-olah
menanyakan apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian pula dengan etika.
Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara faktual dilakukan,
tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
2. Praktis
Cabang-cabang
filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum
mempelajari apa itu hukum.
Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang
harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat
praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan
resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif.
Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani,
kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu
untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun
sendiri argumentasi yang tahan uji.
Etika Teologis
Ada dua
hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis
bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika
teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika
secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam
etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara
umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda
antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika
Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang
kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.
Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika
transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki
objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan
tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang
seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak
Allah.
Setiap
agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini
dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang
satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika
teologisnya.
D.
SANKSI ETIKA
1.
Sanksi sosial, skala relative kecil,
dipahami sebagai kesalahan yang dapat “dimaafkan”. Contohnya, kita mendapat
teguran karena membuang sampah sembarangan, mendapat nilai yang tidak baik,
berpakaian yang tidak rapi, dll.
2.
Sanksi hukum, skala besar, merugikan
hak pihak lain. Hukum pidana menempati prioritas utama dan diikuti hukum
perdata. Contohnya, hukuman penjara dan denda uang yang dijatuhkan untuk
perampok, pemerkosa, koruptor ; Hukuman mati dijatuhkan kepada terorisme ; dll
SUMBER:
Nama : Johan Christian
Kelas : 4EB19
Npm : 23211840